PMRI adalah suatu pendekatan
pembelajaran matematika yang bertitik tolak dari hal-hal yang ‘real’
bagi siswa. PMRI ini mengadaptasi dari Realistic Mathematics Education
(RME) yang dikembangkan oleh Freudenthal Instituut Belanda, yang dimulai
oleh Hans Freudenthal tahun 1970. Menurutnya, matematika harus dihubungkan
dengan kenyataan, berada dekat dengan peserta didik, dan relevan dengan kehid upan
masyarakat agar memiliki nilai manusiawi.
Indonesia adalah negara yang memiliki banyak konteks. Bisa
kita lihat banyak transportasi darat di Indonesia, sepeti : odong-odong, ojek, angkutan kota (angkot), dan lain sebagainya adalah konteks
yang dapat ditemukan di setiap tempat di Indonesia. Khusus untuk angkot, transportasi ini digunakan oleh sebagian besar penduduk
desa dan kota sebagai transportasi untuk pergi kemana
saja. Masalah angkot memberikan kesempatan siswa untuk mengaitkan dan
mengembangkan konteks tersebut dengan mata
pelajaran matematika. Pengajaran dimulai
dengan drama matematika yang didasarkan pada situasi
kehidupan nyata dimana siswa harus bertindak sebagai sopir
dan penumpang angkot. Para penumpang naik
dan turun dari angkot, dan setiap
pemberhentian siswa harus menentukan jumlah penumpang di angkot itu.
Menurut Jan de Lange (1987), ada empat keanekaragaman
konteks:
1.
Situasi pribadi secara langsung berhubungan dengan kegiatan
sehari-hari siswa
2.
Konteks pendidikan dan pekerjaan yang termasuk dalam situasi permasalahan bahwa siswa mungkin menghadapinya
saat di sekolah, termasuk beberapa masalah buatan
dirancang khusus untuk tujuan pengajaran atau
praktek, atau masalah yang ditemui pada situasi kerja.
3.
Konteks publik adalah situasi
pengalaman dalam interaksi kehidupan sehari-hari seseorang dengan dunia luar.
4.
Situasi ilmiah lebih abstrak dan mungkin melibatkan pemahaman
proses teknologi, situasi atau masalah
teoritis eksplisit matematika.
Lima prinsip RME didefinisikan oleh
Treffers (1987) yang dijelaskan sebagai berikut:
1. Fenomena kegiatan. Konteks konkrit/nyata digunakan
sebagai dasar kegiatan matematika. Aktivitas/kegiatan matematika tidak dimulai dari tingkat formal tapi dari situasi yang berdasarkan pengalaman nyata bagi siswa.
2. Menggunakan model dan simbol untuk progresif matematisasi.
Prinsip kedua dari RME adalah menjembatani dari konteks
nyata ke tingkat yang lebih formal dengan menggunakan model dan simbol. Pengetahuan
informal sebagai hasil dari pengalaman-kegiatan
dasar perlu dikembangkan menjadi pengetahuan
formal pada penambahan dan pengurangan.
3. Menggunakan hasil pemikiran siswa sendiri. Kebebasan bagi siswa untuk menggunakan strategi mereka sendiri bisa
mengarahkan pada munculnya berbagai solusi yang dapat digunakan
untuk mengembangkan proses pembelajaran berikutnya. Kontribusi yang
besar pada proses belajar mengajar diharapkan dari kontribusi siswa sendiri
yang mengarahkan mereka dari metode informal kearah yang lebih formal.
4. Interaktivitas.
Proses belajar siswa tidak hanya merupakan proses
individu, tetapi juga proses sosial. Proses belajar siswa dapat dipersingkat
ketika siswa berkomunikasi
dalam pekerjaan dan pikiran mereka dalam interaksi sosial yang muncul di kelas.
dalam pekerjaan dan pikiran mereka dalam interaksi sosial yang muncul di kelas.
5. Intertwinement. Terintegrasi
dengan topik pembelajaran lainnya. Pendekatan holistic, menunjukan bahwa unit-unit belajar
tidak akan dapat dicapai secara terpisah tetapi keterkaitan dan
keterintegrasian harus dieksploitasi dalam pemecahan masalah.
Sebuah percobaan pengajaran di kelas dipilih untuk penelitian karena dimungkinkan peneliti untuk
mengeksplorasi dan menganalisis kemungkinan yang terjadi dalam pembelajaran di kelas. Pembelajaran menggunakan RME membantu siswa mengembangkan keunggulan matematika dengan cara penalaran
melalui tiga heuristik. Yang pertama, heuristik
adalah penciptaan kembali melalui progresif-demokratisasi matematisasi. Menurut
prinsip ini, para siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang
sama dengan proses dimana matematika diciptakan, sehingga siswa dapat
menciptakan kembali konsepnya sendiri. Heuristik yang kedua adalah fenomena mendidik .
Situasi/keadaan
yang berisikan fenomena mendidik yang dijadikan bahan dan area aplikasi dalam
pengajaran matematika haruslah berangkat dari keadaan yang nyata terhadap siswa
sebelum mencapai tingkatan matematika secara formal. Upaya ini akan tercapai
jika pengajaran yang dilakukan menggunakan situasi yang berupa
fenomena-fenomena yang mengandung konsep matematika secara informal ke tingkat
belajar matematika secara formal.
Dalam fenomena, fokusnya adalah pada
bagaimana interpretasi matematika tersebut membuat fenomena yang dapat diakses
untuk penalaran dan perhitungan. Heuristik ketiga yaitu berfokus pada peran model
yang muncul dalam menjembatani antara pengetahuan matematika informal dan
formal. Tujuannya adalah agar
dengan model itu yang mana
model kegiatan informal milik
siswa secara bertahap berkembang menjadi
sebuah model matematika yang lebih formal
untuk penalaran (Gravemeijer, 2004).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar