02 Mei 2012

PMRI


PMRI adalah suatu pendekatan pembelajaran matematika yang bertitik tolak dari hal-hal yang ‘real’ bagi siswa. PMRI ini mengadaptasi dari Realistic Mathematics Education (RME) yang dikembangkan oleh Freudenthal Instituut Belanda, yang dimulai oleh Hans Freudenthal tahun 1970. Menurutnya, matematika harus dihubungkan dengan kenyataan, berada dekat dengan peserta didik, dan relevan dengan kehid upan masyarakat agar memiliki nilai manusiawi.


Indonesia adalah negara yang memiliki banyak konteks. Bisa kita lihat banyak transportasi darat di Indonesia, sepeti : odong-odong, ojek, angkutan kota (angkot), dan lain sebagainya adalah konteks yang dapat ditemukan di setiap tempat di Indonesia. Khusus untuk angkot, transportasi ini digunakan oleh sebagian besar penduduk desa dan kota sebagai transportasi untuk pergi kemana saja. Masalah angkot memberikan kesempatan siswa untuk mengaitkan dan mengembangkan konteks tersebut dengan mata pelajaran matematika. Pengajaran dimulai dengan drama matematika yang didasarkan pada situasi kehidupan nyata dimana siswa harus bertindak sebagai sopir dan penumpang angkot. Para penumpang naik dan turun dari angkot, dan setiap pemberhentian siswa harus menentukan jumlah penumpang di angkot itu.

Menurut Jan de Lange (1987), ada empat keanekaragaman konteks:
1.      Situasi pribadi secara langsung berhubungan dengan kegiatan sehari-hari siswa
2.      Konteks pendidikan dan pekerjaan yang termasuk dalam situasi permasalahan bahwa siswa mungkin menghadapinya saat di sekolah, termasuk beberapa masalah buatan dirancang khusus untuk tujuan pengajaran atau praktek, atau masalah yang ditemui pada situasi kerja.
3.      Konteks publik  adalah situasi pengalaman dalam interaksi kehidupan sehari-hari seseorang dengan dunia luar.
4.      Situasi ilmiah lebih abstrak dan mungkin melibatkan pemahaman proses teknologi, situasi atau masalah teoritis eksplisit matematika.

Lima prinsip RME didefinisikan oleh Treffers (1987) yang dijelaskan sebagai berikut:
1.      Fenomena kegiatan. Konteks konkrit/nyata digunakan sebagai dasar kegiatan matematika. Aktivitas/kegiatan matematika tidak dimulai dari tingkat formal tapi dari situasi yang berdasarkan pengalaman nyata bagi siswa.
2.      Menggunakan model dan simbol untuk progresif matematisasi. Prinsip kedua dari RME adalah menjembatani dari konteks nyata ke tingkat yang lebih formal dengan menggunakan model dan simbol. Pengetahuan informal sebagai hasil dari pengalaman-kegiatan dasar perlu dikembangkan menjadi pengetahuan formal pada penambahan dan pengurangan.
3.      Menggunakan hasil pemikiran siswa sendiri. Kebebasan bagi siswa untuk menggunakan strategi mereka sendiri bisa mengarahkan pada munculnya berbagai solusi yang dapat digunakan untuk mengembangkan proses pembelajaran berikutnya. Kontribusi yang besar pada proses belajar mengajar diharapkan dari kontribusi siswa sendiri yang mengarahkan mereka dari metode informal kearah yang lebih formal.
4.      Interaktivitas. Proses belajar siswa tidak hanya merupakan proses individu, tetapi juga proses sosial. Proses belajar siswa dapat dipersingkat ketika siswa berkomunikasi
dalam pekerjaan dan pikiran mereka dalam interaksi sosial yang muncul di kelas.
5.      Intertwinement. Terintegrasi dengan topik pembelajaran lainnya. Pendekatan holistic, menunjukan bahwa unit-unit belajar tidak akan dapat dicapai secara terpisah tetapi keterkaitan dan keterintegrasian harus dieksploitasi dalam pemecahan masalah.


Sebuah percobaan pengajaran di kelas dipilih untuk penelitian karena dimungkinkan peneliti untuk mengeksplorasi dan menganalisis kemungkinan yang terjadi dalam pembelajaran di kelas. Pembelajaran menggunakan RME membantu siswa mengembangkan keunggulan matematika dengan cara penalaran melalui tiga heuristik. Yang pertama, heuristik adalah penciptaan kembali melalui progresif-demokratisasi matematisasi. Menurut prinsip ini, para siswa harus diberi kesempatan untuk mengalami proses yang sama dengan proses dimana matematika diciptakan, sehingga siswa dapat menciptakan kembali konsepnya sendiri. Heuristik yang kedua adalah fenomena mendidik . Situasi/keadaan yang berisikan fenomena mendidik yang dijadikan bahan dan area aplikasi dalam pengajaran matematika haruslah berangkat dari keadaan yang nyata terhadap siswa sebelum mencapai tingkatan matematika secara formal. Upaya ini akan tercapai jika pengajaran yang dilakukan menggunakan situasi yang berupa fenomena-fenomena yang mengandung konsep matematika secara informal ke tingkat belajar matematika secara formal. Dalam fenomena, fokusnya adalah pada bagaimana interpretasi matematika tersebut membuat fenomena yang dapat diakses untuk penalaran dan perhitungan. Heuristik ketiga yaitu berfokus pada peran model yang muncul dalam menjembatani antara pengetahuan matematika informal dan formal. Tujuannya adalah agar dengan model itu yang mana model kegiatan informal milik siswa secara bertahap berkembang menjadi sebuah model matematika yang lebih formal untuk penalaran (Gravemeijer, 2004).

Percobaan pengajaran telah dilakukan untuk menyelidiki apakah konteks transportasi darat seperti angkot menimbulkan pemahaman akan konsep dasar penjumlahan dan pengurangan. Percobaan pengajaran diadakan di MIN-2 Palembang yang melibatkan 28 siswa dan seorang guru. Percobaan pengajaran dimulai dengan meminta siswa untuk bermain drama matematika, dimana seorang siswa sebagai sopir bus dan ilustrasi cerita tentang orang-orang naik dan turun dari angkot.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar