09 Oktober 2011

Presentasi AIK 2 Bismillah :D

A. INDONESIA SEBELUM MUNCULNYA GERAKAN MUHAMMADIYAH
Indonesia, di akhir abad ke-19, adalah sebuah negeri yang muram. Pengalaman pahit sebagai bangsa di bawah penindasan kolonialisme dialami sebagian besar rakyat yang tenggelam dalam kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan. Ada dual economic sistem (dalam kajian Boeke) yang akhirnya berlaku dalam perekonomian Indonesia si masa kolonial yaitu bahwa di satu sisi terdapat sebagian kecil kelompok sosial (terutama pra kapitalis Eropa) yang melakukan aktifitas ekonomi secara kapitalis dan integral dengan pasar global , sementara di sisi lain terdapat sebagian besar kelompok sosial (mayoritas pribumi) yang hidup dalam subsistence economy, yaitu hidup secara pas-pasan hanya untuk kebutuhan keseharian, tanpa pendidikan, bodoh, dan terbelakang.
Dunia pendidikan juga banyak didominasi oleh kalangan Eropa dan elit feodal pribumi. Rakyat yang mayoritas muslim, tidak banyak berakomodasi dalam sistem modern yang banyak di kelola oleh pemerintah kolonial di Indonesia. Kebekuan sistem pendidikan tradisional di Indonesia (pesantren) semakin meninggalkan mayoritas pribumi dari ketidakberdayaan di tengah sistem pesantren yang modern dan rasional.
Di tengah kemuraman mayoritas penduduk pribumi yang tidak berdaya dalam kapitalisme kolonial, ada juga sekelompok kecil masyarakat pribumi yang muncul sebagai pengusaha industri dan pedagang yang kuat di daerah-daerah. Kelompok ini merupakan kelas menengah pribumi dan merupakan sebagian kecildari wiraswastawan pribumi yang mampu bersaing pada tingkat lokal. Sebagian besar kelas menengah pribumi ini memiliki latar belakang agama Islam dan ikatan sosial yang kuat, satu hal yang sebenarnya paradoks dengan mayoritas pribumi yang juga muslim. Kondisi ekonomi mereka yang cukup mapan memberi kesempatan bagi mereka dan keluarganya untuk berbagul secara lebih kos mapolit, baik melalui ibadah haji ke mekkah, mengirimkan anak-anak mereka ke berbagai pesantren atau lembaga pendidikan lain di Indonesia maupun luar negeri. Dengan demikian, interaksi mereka dengfan masyarakat dan bangsa yang lebih luas berlangsung secara regular dan berkesinambungan, tidak hanya dalam konteks ekonomi dan pendidikan, melainkan juga dalam aspek sosial, cultural, dan politik. Interaksi mereka dengan masyarakat muslim dunia telah membuka kesempatan masuknya unsur-unsur baru ke dalam masyarakat muslim indonesia.
Satu diantara masyarakat kelas menengah pribumi saat itu ialah Kyai Haji Ahmad Dahlan. Ia, barangkali hanyalah merupakan sebuah noktah kecil dalam kancah sejarah Indonesia, jika ia hanya menjalani hidup sebagai pedagang batik dan khotib amin di Masjid Agung Kasultanan Ngayogyakarta. Namun ternyata Kyai Haji Ahmad Dahlan tidak hanya hadir sebagai noktah kecil sejarah, melainkan ia hadir dengan gagasan besar yang mencerahkan di tengah kemuraman nasib bangsa Indonesia dibawah penindasan kolonialisme. Di tengah pergaulannya, ia berpikir besar tentang perubahan sosial demi kemajuan umat Islam yang sedang mengalami keterbelakangan, kebodohan, dan kemiskinan secara sistematis. Pikiran itulah yang mendorong untuk melahirkan Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912 yang mencoba melakukan pencerahan di tengah kemuraman nasib bangsa ini, sekaligus untuk mengembalikan sejarah umat Islam pada kejayaannya.

B.  MUHAMMADIYAH SEBAGAI ORGANISASI SOSIAL KEAGAMAAN BERCIRIKAN MODERNITAS DAN PEMBAHARUAN
Dalam menangani persoalan kebodohan, misalnya, Muhammadiyah
mendirikan sekolah-sekolah yang menggunakan sistem modern, sehingga anak-anak muslim bumiputera (yang pada masa kolonial disebut irlander) bisa memperoleh wawasan yang lebih luas mengenai persoalan keduniaan yang rasional tanpa harus meninggalkan nilai-nilai dan spiritualitas Islam.
       Posisi modernis Muhammadiyah terletak pada inovasinya untuk tidak terikat dalam suatu rezim madzhab tertentu. Muhammadiyah ini menjadi amat bertentangan dengan kecenderungan ulam Islam pada waktu itu. Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan telatennya dalam bahasa Arab mendemonstrasikan suatu cara tafsir yang sama sekali baru.

Ajaran sekaligus tantangan mengenai tafsir surat Al-Maun kepada peserta pengajian yang seharusnya diamalkan artinya dipraktekkan dan dikerjakan, direspon dengan bergeraknya peserta pengajian mengumpulkan orang miskin. Kemudian diurus pula pengadaan rumah untuk tempat tinggal mereka. Inilah cikal bakal dari upaya pengadaan rumah miskin yang kemudian berdiri pada tahun 1925. Pola pengasuhan anak yatim pada masa sebelumnya lebih merupakan upaya perorangan. Muhammadiyah-lah yang memulai sebagai upaya yang lebih terorganisir dan menjadi sebuah institusi panti asuhan pada tahun 1924.
Sebagai gambaran kumulatif tentang pembaharuan dalam bidang kegamaan yang telah dilakukan Muhammadiyah dapat dilihat sebagai berikut :
1.      Penentuan arah kiblat yang tepat dalam shalat, sebagai koreksi dari kebiasaan sebelumnya yang menghadap tepat ke arah barat.
2.      Penggunaan perhitungan astronomi dalam menentukan permulaan dan akhir bulan puasa (hisab), sebagai kebalikan dari pengamatan perjalanan bulan oleh petugas agama.
3.      Menyelenggarakan shalat bersama di lapangan terbuka pada hari raya Islam, ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha, sebagai ganti dari shalat serupa dalam jumlah jamaah yang lebih kecil yang diselenggarakan di masjid.
4.      Pengumpulan dan pembagian zakat fitrah dan qurban pada dua hari raya (‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha) oleh panitia khusus (‘amil) untuk didistribusikan pada mereka yang berhak menerimanya.
5.      Penyampaian khutbah dalam bahasa lokal (Jawa atau Melayu) sebagai perubahan dari kebiasaan sebelumnya yang dalam bahasa Arab.
6.      Penyederhanaan upacara dan ibadah dalam upacara kelahiran, khitanan, perkawinan dan pemakaman, dengan menghilangkan hal-hal yang bersifar politeistis.
7.      Penyederhanaan makam (kuburan) yang semula dihiasi secara berlebihan.
8.      Menghilangkan kebiasaan berziarah ke makam orang-orang suci (wali).
9.      Membersihkan anggapan adanya berkah yang bersifat ghaib yang dimiliki oleh para kyai / ulama tertentu,serta mendekonstruksi pengaruh exstrem pemujaan terhadap mereka.
10.  Penggunaan kerudung untuk wanita, dan pemisahan laki-laki dengan wanita dalam pertemuan-pertemuan yang bersifat keagamaan.
Di bidang sosial dan kemasyarakatan, usaha yang dirintis oleh Muhammadiyah adalah mendirikan rumah sakit, poliklinik, rumah yatim piatu, yang dikelola lembaga-lembaga yang bukan secara individual sebagaimana dilakukan orang pada umumnya. Muhammadiyah juga telah mewujudkan bidang bimbingan dan penyuluhan agama dalam masalah-masalah yang diperlukan dan mungkin bersifat pribadi, seperti mempelopori mendirikan badan penyuluhan perkawinan di kota-kota besar. Badan atau lembaga pendidikan sosial didalam Muhammadiyah juga ikut menangani masalah-masalah keagamaan yang dikaitkan dengan bidang sosial, seperti penerimaan zakat dan pembagian zakat ditangani sepenuhnyaoleh PKU, yang sekaligus berwenang sebagai badan amil (Asyuni Abdurrahman, 1990: 120).
Ciri lain yang mengindikasikan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan modernis ialah para pengurus dan anggota Muhammadiyah pada awal-awal perkembangannya yang juga menjadi anggota dan perintis berdirinya organisasi-organisasi modern lainnya yang saat itu banyak berkembang. Kyai Haji Ahmad Dahlan sendiri adalah salah seorang pengurus dan anggota Budi Utomo yang cukup berpengaruh.
Yang menjadi gagasan pokok muslim modernis di Indonesia saat itu (terutama Muhammadiyah) adalah keinginan mereka untuk membersihkan keimanan dari segala ketidakmurnian akibat singkretisasi dalam perjalanan waktu, juga membebaskan keimanan dari kelakuan agama sehingga menjadi sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan dunia modern. Untuk maksud tersebut mereka meyakini jawabannya, yaitu dengan kembali pada sumber yang benar dari Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadits.

C. MUHAMMADIYAH SEBAGAI BENTUK GERAKAN WARGA ( Civil Movement )
Samuel Huntington menulis buku The Clash of Civilization yang memaparkan problematika demokrasi pasca-perang dingin. Dalam pandangannya, Huntington mengemukakan bahwa peradaban Islam tidak menampilkan diri sebagai sosok yang favorable untuk berdemokrasi.
Pada level negara, barangkali tesis Huntington bisa jadi benar bahwa sebagian besar negara-negara yang mayoritas muslim masih tercabik-cabik oleh kemiskinan, otoritarianisme, marginalisasi perempuan dan lemahnya supremasi hukum. Namun pada komunitas-komunitas muslim, tesis Huntington bisa jadi tidak terbukti. Dan Muhammadiyah bisa membuktikan bahwa tesis Huntington tidak berlaku pada sebagian komunitas muslim.
Muhammadiyah sejak awal berdirinya memiliki spirit pembebasan dari belenggu tradisionalisme dan konservativisme, yang menggugat  kemapanan tradisi. Gerakan Muhammadiyah yang membawa spirit pencerahan di tengah kekolotan tradisi dan belenggun kolonialisme merupakan salah satu gerakan Islam yang membantah tesis Huntington tersebut.
Dalam konteks demokratisasi, Muhammadiyah memilki kultur demokrasi yang dibangun sejak awal berdirinya dengan mengedepankankepemimpinan kolegial melalui musyawarah dan rapat-rapat.
Dalam konteks gender sensitive, sejak awal Muhammadiyah menaruh perhatian besar dalam hal pemberdayaan kaum wanita yang termarginalisasikan oleh kultur dan tradisi.
Dalam konteks pemberdayaan rakyat dan pengentasan kemiskinan, Muhammadiyah sudah melakukan banyak hal dalam konteks ini sejak berdirinya. Muhammadiyah memiliki concern yang besar terhadap pemberdayaan rakyat dan pengentasan kemiskinan yang dikelola secara sistematis dengan mendirikan Rumah Miskin dan Majelis Pusat Oemat (PKO).
Dalam konteks keterbukaan, Muhammadiyah sejak berdirinya memiliki ciri sebagai warga kota yang terbuka. Para pendiri Muhammadiyah memanfaatkan perkembangan intelektual masyarakat kota. Mereka berhubungan dengan kaum priyayi maju, dengan para pastor dan pendeta, serta dengan pemuka Belanda lainnya. Banyak juga diantara anggota Muhammadiyah yang merangkap menjadi anggota Sarekat Islam dan Budi Utomo. Kyai Dahlan juga terkenal toleran dengan mereka yang beragama lain dan berpikiran lain. Ia juga tanpa merasa malu meniru apa yang telah dilakukan oleh missie dan zending.
Dalam konteks membangun inisiatif sipil, Muhammadiyah mampu menunjukkan komitmennya sejak awal melalui pendidikan. Gerakan pendidikan yang dilakukan Muhammadiyah adalah wujud komitmen Muhammadiyah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan pencerahan mental kepada bangsa ini yang dimaksudkan untuk membangun kesadaran warga dan inisiatif masyarakat sipil. Melalui pendidikan, Muhammadiyah berhasil membangun kesadaran masyarakat untuk mengetahui hak-haknya sebagai warga dan bangsa, sehingga inisiatif-inisiatif sipil bisa ditumbuhkembangkan dari kesadaran itu.
Dalam kaitannya dengan dengan membangun kesadaran berbangsa, Muhammadiyah memiliki kontribusi yang sangat besar dalam menciptakan kesatuan dan persatuan bangsa. Muhammadiyah ikut mengembangkan keberadaan RI sebagai kesatuan politik.

D. MUHAMMADIYAH SEBAGAI MANIVESTASI GERAKAN KELAS MENENGAH INTERPRENEUR
Nabi Muhammad yang menghabiskan masa mudanya sebagai pedagang, juga istrinya, Khadijah, yang lima belas tahun lebih tua adalah saudagar yang sukses. Orang-orang dekat Muhammad sendiri pun terdapat sosok entrepreneur yang memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan Islam seperti Usman bin Affan dan Abdurrachman bin ‘Awf. Lagipula, adalah fakta dalam sejarah bahwa Islam adalah agama yang dianut oleh kebanyakan pedagang antar-negeri yang mendominasi pelayaran di Timur jauh (Far East).
Dilihat dari komposisi anggotanya pada saat awal berdirinya, Muhammadiyah lebih tampak sebagai gerakan kaum kelas menengah daripada sebagai organisasi agama yang (lazimnya) didominasi kaum ulama. Berdasarkan data anggota antara tahun 1916-1923, keanggotaan Muhammadiyah terbanyak justru berasal dari kaum saudagar/wiraswastawan.
Menyebarnya Muhammadiyah di Indonesia sedikit banyak terjadi melalui interaksi kaum pedagang. Muhammadiyah juga tersebar melalui relasi-relasi dagang yang dimiliki oleh Kiai Dahlan yang juga seorang pedagang batik. Muhammadiyah telah mulai dibina dari tradisi Kauman dan tradisi perantau yang menampakkan asal-usul dari enclave (kantong) entrepreneur. Berkembangnya Muhammadiyah di daerah lain juga berkembang di enclave entrepreneur. Berkembangnya Muhammadiyah di daerah lain juga berkembang di enclave entrepreneur, seperti Pekajangan di Pekalongan, Laweyan di Solo, Surabaya, Kota-gede di Yogyakarta, dan sebagainya. Seperti masuknya Muhammadiyah ke Minangkabau yang terjadi lewat perkenalan para pedagang Minangkabau yang terjadi lewat perkenalan para pedagang Minangkabau yang berada di Pekalongan dengan Kiai Dahlan yang kerap melakukan tabligh di daerah itu.

E.  PROFIL PENDIRI MUHAMMADIYAH
*          Latar belakang Keluarga KH Ahmad Dahlan
KH Ahmad Dahlan terlahir 1868 dengan nama kecil Muhammad Darwis. Barulah sepulang menunaikan ibadah haji namanya berganti menjadi Ahmad Dahlan. Kauman, kampung kelahirannya unik karena nilai historisnya. Sebagaimana area kauman di kota-kota di Jawa Tengah, kampung Kauman di Yogyakarta juga terletak di sekitar Masjid Besar Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Tepatnya di sisi Barat Alun-alun Utara. KH Ahmad Dahlan dilahirkan dari ibu bernama Siti Aminah dan ayahya KH Abu Bakar. Ayahnya adalah pejabat agama Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat yaitu sebagai Imam dan Khatib Masjid Besar Kraton.
Dari Garis ibu, KH Ahmad Dahlan adalah cucu Penghulu Kraton yaitu KH Ibrahim. Sementara dari garis ayahnya, KH Ahmad Dahlan masih memiliki hubungan darah dengan Syekh Maulana Malik Ibrahim (penyebar Islam di Gresik pada abad ke 15) sebagai turunan ke-11.
KH Ahmad Dahlan naik haji pertama kali tahun 1890, dalam usia 22 tahun. Tiga belas tahun kemudian (1903) naik haji kedua kalinya bersama putra laki-lakinya, Siraj Dahlan yang kadang dipanggil Djumhan. Sepulang ibadah haji tahun 1904-1905, beliau mendirikan pondok untuk menampung para pelajar dari luar daerah yang belajar di Yogyakarta.
Setelah berumur 24 tahun, Kiai Dahlan menikahi Siti Walidah, sepupunya sendiri yang kemudian dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan. Dari pernikahannya dikaruniai 6 anak, yaitu: Siti Johannah (lahir 1890), Siraj Dahlan (lahir 1898), Siti Bsyro (lahir 1903), Siti Aisyah (lahir 1905), Irfan Dahlan dan Siti Aisyah (lahir kembar), dan Siti Zuharoh (lahir 1908).
KH Ahmad Dahlan tidak pernah menjalani pendidikan formal dengan memasuki sekolah tertentu. Namun ia menguasai beragam ilmu yang diperoleh secara otodidak baik berguru kepada ulama atau seorang ahli, atau dengan memebaca buku atau kitab-kitab. Ilmu-ilmu yang dikuasainya atau pernah dipelajarinya yaitu: Nahwu (tata bahasa Arab), Ilmu Fiqih, Ilmu Falaq, Ilmu Hadits, Qiroatul Qur’an, Ilmu Pengobatan dan Racun, serta Tasawuf.
Guru-guru Kiai Ahmad Dahlan sebagaian dari dalam negeri dan lainnya dari luar negeri khususnya Saudi Arabia. Guru-gurunya antara lain: ayahnya sendiri (KH Abu Bakar), KH Mohammad Shaleh (Kakak iparnya), untuk ilmu Fiqih, KH Muchsin dan KH Abdul Hamid untuk ilmu Nahwu, KH Raden Dahlan (Pesantren Termas), untuk ilmu falaq, Kiai Machfud (Pesantren Termas) untuk ilmu Fiqih dan Hadits, Syekh Khayyat untuk ilmu Hadits, Syekh Amin dan Sayyid Bakri Satock untuk Qiroatul Qur’an, Syekh Hasan untuk ilmu Pengobatan da Racun, Sayyid Ba-bussijjil untuk ilmu Hadits, Mufti Syafi’i untuk ilmu Hadits, Kiai Asy’ari Baceyan dan Sykeh Misri Makkah untuk Qiroatul Qur’an dan ilmu Falaq.

*          Jalan Hidup Kiai Ahmad Dahlan
Sebelum Muhammadiyah berdiri, Kiai Ahmad Dahlan telah melakukan berbagai kegiatan keagamaan dan dakwah. Tahun 1906, Kiai diangkat sebagai khatib Masjid Besar Yogyakarta dengan gelar Ketib Amin. Satu tahun kemudian (1907) Kiai memelopori Musyawarah Alim Ulama. Dalam rapat pertama beliau menyampaikan arah kiblat Masjid Besar kurang tepat.
Tahun 1922 Kiai membentuk Badan Musyawarah Ulama. Tujuan badan itu ialah mempersatukan ulama di seluruh Hindia Belanda dan merumuskan berbagai kaidah hukum Islam sebagai pedoman pengamalan Islam khususnya bagi warga Muhammadiyah. Badan Musyawarah ini diketuai RH Moehammad Kamaludiningrat, penghulu Kraton. Meskipun pernah berbeda pendapat, Moehammad Kamaludiningrat ini yang mendorong para pimpinan Muhammadiyah kemudian membentuk Majelis Tarjih (1927). Majelis ini diketuai Kiai Mas Mansur. Dengan tujuan dakwah agar manusia berfikir dan tertarik pada kebagusan Islam melalui pembuktian jalan kepandaian dan ilmu.
Tahun 1909, Kiai Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo. Tujuannya selain sebagai wadah semangat kebangsaan, juga untuk memperlancar aktivitas dakwah dan pendidikan Islam yang dilakukannya. Ketika Muhammadiyah terbentuk, bahkan 7 orang pengurusnya menyusul bergabung dengan Boedi Oetomo. Hubungan Muhammadiyah dengan Boedi Oetomo sangat erat, sehingga Kongres Boedi Oetomo tahun 1917 diselenggarakan di rumah Kiai Ahmad Dahlan.
Di sisi lain Dr.Soetomo—pendiri Boedi Oetomo—juga banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan Muhammadiyah dan menjadi Penasehat (Adviseur Besar) Muhammadiyah. Dalam Kongres Muhammadiyah ke-26 (Surabaya), Dr.Soetomo memberikan ceramah (khutbah) dengan tema Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Khutbah ini yang mendorong lahirnya PKO dengan rumah sakit dan panti asuhannya kemudian. Dr.Soetomo pun membantu memperlancar pengesahan berdirinya Muhammadiyah, tiga tahun setelah berdirinya.
Keanggotaannya di Boedi Oetomo memberikan kesempatan luas berdakwah kepada para anggota Muhammadiyah dengan mengajar agama Islam kepada siswa-siswa yang belajar di sekolah Belanda. Antara lain Kweeck School di Jetis. OSVIA (Opleiding School Voor Indlandsch Amtenaren), Sekolah Pamong Praja (Magelang). Selain dakwah yang diadakan di rumahnya di Kauman.
Tahun 1908-1909, Kiai Dahlan mendirikan sekolah yang pertama yaitu Madrasah Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah (setingkat SD). Kegiatan belajar mengajarnya diadakan di ruang tamu rumahnya yang berukuran 2,5 x 6 meter. Meskipun demikian sudah dikelola secara modern dengan menggunakan metode dan kurikulum. Dengan menggunakan papan tulis, meja, dan kursi. Sistem pengajarannya secara klasikal. Waktu merupakan sesuatu yang sangat asing bagi sekolah pribumi. Untuk pertama kali muridnya hanya 6 orang. Dan setengah tahun kemudian meningkat menjadi 20 orang.
Ketika besluit pengakuan sah Muhammadiyah keluar dari pemerintah Belanda tahun 1914, Kiai Ahmad Dahlan pun mendirikan perkumpulan kaum ibu yaitu Sapatresna. Yang tahun 1920, kemudian diubah namanya jadi Aisiyah. Tugas pokoknya mengadakan pengajian khusus bagi kaum wanita. Dengan ciri khusus peserta pengajian Sapatresna diwajibkan memakai kerudung dari kain sorban berwarna putih. Perkumpulan ini pertama kali dipimpin Nyai Ahmad Dahlan.
Tahun 1920 didirikan Panti Asuhan Yatim Piatu Muhammadiyah. Dan tahun 1922 didirikan Nasyiatul Asiyiyah (NA), yang semula bagian dari Aisiyyah kalangan muda. Sedangkan tahun 1918 didirikan kepanduan Hizwul Wathan (HW) bagi kalangan angkatan muda. Diketuai Haji Muhtar. Diantara alumni HW (yang juga berkembang di Banyumas) adalah Jenderal Sudirman. Tahun 1917 Kiai Ahmad Dahlan mendirikan pengajian Malam Jum’at sebagai forum dialog dan tukar pikiran warga Muhammadiyah dan masyarakat simpatisan. Dari forum ini kemudian lahir Korps Mubaligh keliling, yang bertugas menyantuni dan memperbaiki kehidupan yatim piatu, fakir miskin, dan yang sedang dilanda musibah.
Tahun 1918 didirikan sekolah Al Qism Al Arqa, yang dua tahun kemudian menjadi Pondok Muhammadiyah di Kauman. Tahun 1921 berdiri badan yang membantu kemudahan pelaksanaan ibadah haji bagi orang Indonesia, yakni Penolong Haji. Selain itu mendirikan pula mushala kaum wanita, sebagai yang pertama di Indonesia.
Untuk mendukung aktivitasnya, Kiai Dahlan menyerahkan harta benda dan kekayaannya sebagai modal bagi perjuangan dan gerak langkah Muhammadiyah. Kiai seringkali melelang perabot rumah tangganya untuk mencukupi keperluan dana bagi gerakan Muhammadiyah.
Tahun 1922 Muhammadiyah sudah memiliki 9 sekolah dengan 73 orang guru dan 1019 siswa. Yaitu Opleiding School di Magelang, Kweeck School (Magelang), Kweeck School (Purworejo), Normal School (Blitar), NBS (Bandung), Algemeene Midelbare School (Surabaya), Hoogers Kweeck School (Purworejo).
Pada tahun 1921 Muhammadiyah sudah memiliki 5 cabang yaitu: Srandakan (Yogyakarta), Imogiri (Yogyakarta), Blora (Jawa Tengah), Surakarta (Jawa Tengah), Kepanjen, Malang (Jawa Timur). Tahun 1922 menyusul berdiri cabang Muhammadiyah di: Solo, Purwokerta, Pekalongan, Pekajangan, Jakarta, Garut (Jawa Barat), dan Sungai Liat (Bangka).
Selain itu Muhammadiyah sudah menerbitkan majalah yaitu Suara Muhammadiyah (SM) sejak tahun 1914. dan Kiai Ahmad Dahlan duduk sebagai Staf Redaksi. Kemudian Muhammadiyah pun mendirikan Perpustakaan pada tahun 1922, untuk para anggota dan Umat Islam pada umumnya.
Hubungan pergaulan Kiai Ahmad Dahlan sangat luas. Selain di Muhammadiyah dan Boedi Oetomo, Kiai Dahlan merupakan komisariat Central Sarekat Islam (SI) dan Adviseur (Penasehat Pusat) SI. Sekaligus ahli propaganda dari aspek dakwah bagi SI. Bahkan kiai ini termasuk rombongan yang mewakili pengurusan pengeshan Badan Hukum Sarekat Islam, bersama Cokroaminoto. Aktivitasnya di SI sejak tahun 1913. Selain di SI, Muhammadiyah, dan Boedi Oetomo, jauh sebelum mendirikan Muhammadiyah Kiai Ahmad Dahlan pun menjadi anggota perkumpulan Jami’atul Khair (1905) dari kalangan pribumi, bersama Husein Jayadiningtrat. Luasnya hubungan Kiai Ahmad Dahlan bisa dilihat dari donatur Muhammadiyah yang terdiri dari bermacam kalangan. Antara lain para pemimpin SI, organisasi Islam di pulau Jawa dan luar Jawa. Juga para politisi dan Birokrat seperti Pegawai Jawata Kereta Api dan Irigasi.
Itulah amal perjuangan KH Ahmad Dahlan. Yang banyak melakukan rintisan amal sosial. Sehingga dakwah Islam yang digerakan Muhammadiyah bukan berputar-putar sekedar pada wacana, tapi aksi sosial. Tapi setiap wacana harus dijalankan dalam konteks sosial. Melihat perilaku gerakan KH Ahmad Dahlan tampak jelas KH Ahmad Dahlan merupakan sosok manusia amal (man of action). Namun demikian bukan berarti beliau tidak mampu berpropaganda atau menulis, tapi Kiai Ahmad Dahlan membuktikan dirinya sebagai manusia yang memiliki integritas sebagai muslim. Yaitu adanya kesatuan antara pemikiran, ucapan, dan perbuatan. Meskipun bagi generasi selanjutnya lebih tampak Kiai ini dari sisi aksi sosialnya. Atau kesulitan menangkap pemikiran atau ide-idenya, baik terucapkan atau tertulis. Karena memang Kiai yang satu ini tidak banyak menulis, meskipun bisa menulis. Ide-ide dan pemikirannya itu terwujudkan dalam hasil karya gerakan sosial. Maka untuk menangkap sejauh mana pemikiran atau ide kiai Dahlan kita harus berusaha menangkap esensi dari amal sosial keagamaan Muhammadiyah seperti disebutkan di atas. Yang kemudian dikembangkan murid-murid dan pengikutnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar