Indonesia, di akhir abad ke-19, adalah sebuah negeri
yang muram. Pengalaman pahit sebagai bangsa di bawah penindasan kolonialisme
dialami sebagian besar rakyat yang tenggelam dalam kemiskinan, kebodohan, dan
keterbelakangan. Ada dual economic sistem (dalam kajian Boeke) yang akhirnya
berlaku dalam perekonomian Indonesia si masa kolonial yaitu bahwa di satu sisi
terdapat sebagian kecil kelompok sosial (terutama pra kapitalis Eropa) yang
melakukan aktifitas ekonomi secara kapitalis dan integral dengan pasar global ,
sementara di sisi lain terdapat sebagian besar kelompok sosial (mayoritas
pribumi) yang hidup dalam subsistence
economy, yaitu hidup secara pas-pasan hanya untuk kebutuhan keseharian,
tanpa pendidikan, bodoh, dan terbelakang.
Dunia pendidikan juga banyak
didominasi oleh kalangan Eropa dan elit feodal pribumi. Rakyat yang mayoritas
muslim, tidak banyak berakomodasi dalam sistem modern yang banyak di kelola
oleh pemerintah kolonial di Indonesia. Kebekuan sistem pendidikan tradisional
di Indonesia (pesantren) semakin meninggalkan mayoritas pribumi dari
ketidakberdayaan di tengah sistem pesantren yang modern dan rasional.
Di tengah kemuraman mayoritas penduduk pribumi yang
tidak berdaya dalam kapitalisme kolonial, ada juga sekelompok kecil masyarakat
pribumi yang muncul sebagai pengusaha industri dan pedagang yang kuat di
daerah-daerah. Kelompok ini merupakan kelas menengah pribumi dan merupakan
sebagian kecildari wiraswastawan pribumi yang mampu bersaing pada tingkat
lokal. Sebagian besar kelas menengah pribumi ini memiliki latar belakang agama
Islam dan ikatan sosial yang kuat, satu hal yang sebenarnya paradoks dengan
mayoritas pribumi yang juga muslim. Kondisi ekonomi mereka yang cukup mapan
memberi kesempatan bagi mereka dan keluarganya untuk berbagul secara lebih kos
mapolit, baik melalui ibadah haji ke mekkah, mengirimkan anak-anak mereka ke
berbagai pesantren atau lembaga pendidikan lain di Indonesia maupun luar
negeri. Dengan demikian, interaksi mereka dengfan masyarakat dan bangsa yang
lebih luas berlangsung secara regular dan berkesinambungan, tidak hanya dalam
konteks ekonomi dan pendidikan, melainkan juga dalam aspek sosial, cultural,
dan politik. Interaksi mereka dengan masyarakat muslim dunia telah membuka
kesempatan masuknya unsur-unsur baru ke dalam masyarakat muslim indonesia.
Satu diantara masyarakat kelas
menengah pribumi saat itu ialah Kyai Haji Ahmad Dahlan. Ia, barangkali hanyalah
merupakan sebuah noktah kecil dalam kancah sejarah Indonesia, jika ia hanya
menjalani hidup sebagai pedagang batik dan khotib amin di Masjid Agung
Kasultanan Ngayogyakarta. Namun ternyata Kyai Haji Ahmad Dahlan tidak hanya
hadir sebagai noktah kecil sejarah, melainkan ia hadir dengan gagasan besar
yang mencerahkan di tengah kemuraman nasib bangsa Indonesia dibawah penindasan
kolonialisme. Di tengah pergaulannya, ia berpikir besar tentang perubahan
sosial demi kemajuan umat Islam yang sedang mengalami keterbelakangan,
kebodohan, dan kemiskinan secara sistematis. Pikiran itulah yang mendorong
untuk melahirkan Muhammadiyah pada tanggal 18 November 1912 yang mencoba
melakukan pencerahan di tengah kemuraman nasib bangsa ini, sekaligus untuk mengembalikan
sejarah umat Islam pada kejayaannya.
B.
MUHAMMADIYAH SEBAGAI ORGANISASI SOSIAL KEAGAMAAN
BERCIRIKAN MODERNITAS DAN PEMBAHARUAN
Dalam menangani persoalan
kebodohan, misalnya, Muhammadiyah
mendirikan
sekolah-sekolah yang menggunakan sistem modern, sehingga anak-anak muslim
bumiputera (yang pada masa kolonial disebut irlander)
bisa memperoleh wawasan yang lebih luas mengenai persoalan keduniaan yang
rasional tanpa harus meninggalkan nilai-nilai dan spiritualitas Islam.
Posisi
modernis Muhammadiyah terletak pada inovasinya untuk tidak terikat dalam suatu
rezim madzhab tertentu. Muhammadiyah ini menjadi amat bertentangan dengan
kecenderungan ulam Islam pada waktu itu. Kyai Haji Ahmad Dahlan dengan
telatennya dalam bahasa Arab mendemonstrasikan suatu cara tafsir yang sama
sekali baru.
Ajaran sekaligus tantangan
mengenai tafsir surat Al-Maun kepada peserta pengajian yang seharusnya
diamalkan artinya dipraktekkan dan dikerjakan, direspon dengan bergeraknya
peserta pengajian mengumpulkan orang miskin. Kemudian diurus pula pengadaan
rumah untuk tempat tinggal mereka. Inilah cikal bakal dari upaya pengadaan
rumah miskin yang kemudian berdiri pada tahun 1925. Pola pengasuhan anak yatim
pada masa sebelumnya lebih merupakan upaya perorangan. Muhammadiyah-lah yang
memulai sebagai upaya yang lebih terorganisir dan menjadi sebuah institusi
panti asuhan pada tahun 1924.
Sebagai gambaran kumulatif
tentang pembaharuan dalam bidang kegamaan yang telah dilakukan Muhammadiyah
dapat dilihat sebagai berikut :
1.
Penentuan arah kiblat yang tepat dalam shalat, sebagai
koreksi dari kebiasaan sebelumnya yang menghadap tepat ke arah barat.
2.
Penggunaan perhitungan astronomi dalam menentukan
permulaan dan akhir bulan puasa (hisab), sebagai kebalikan dari pengamatan
perjalanan bulan oleh petugas agama.
3.
Menyelenggarakan shalat bersama di lapangan terbuka pada
hari raya Islam, ‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha, sebagai ganti dari shalat serupa
dalam jumlah jamaah yang lebih kecil yang diselenggarakan di masjid.
4.
Pengumpulan dan pembagian zakat fitrah dan qurban pada
dua hari raya (‘Idul Fitri dan ‘Idul Adha) oleh panitia khusus (‘amil) untuk
didistribusikan pada mereka yang berhak menerimanya.
5.
Penyampaian khutbah dalam bahasa lokal (Jawa atau Melayu)
sebagai perubahan dari kebiasaan sebelumnya yang dalam bahasa Arab.
6.
Penyederhanaan upacara dan ibadah dalam upacara
kelahiran, khitanan, perkawinan dan pemakaman, dengan menghilangkan hal-hal
yang bersifar politeistis.
7.
Penyederhanaan makam (kuburan) yang semula dihiasi secara
berlebihan.
8.
Menghilangkan kebiasaan berziarah ke makam orang-orang
suci (wali).
9.
Membersihkan anggapan adanya berkah yang bersifat ghaib
yang dimiliki oleh para kyai / ulama tertentu,serta mendekonstruksi pengaruh
exstrem pemujaan terhadap mereka.
10.
Penggunaan kerudung untuk wanita, dan pemisahan laki-laki
dengan wanita dalam pertemuan-pertemuan yang bersifat keagamaan.
Di bidang sosial dan kemasyarakatan, usaha yang dirintis oleh Muhammadiyah
adalah mendirikan rumah sakit, poliklinik, rumah yatim piatu, yang dikelola
lembaga-lembaga yang bukan secara individual sebagaimana dilakukan orang pada
umumnya. Muhammadiyah juga telah mewujudkan bidang bimbingan dan penyuluhan
agama dalam masalah-masalah yang diperlukan dan mungkin bersifat pribadi,
seperti mempelopori mendirikan badan penyuluhan perkawinan di kota-kota besar.
Badan atau lembaga pendidikan sosial didalam Muhammadiyah juga ikut menangani masalah-masalah keagamaan yang
dikaitkan dengan bidang sosial, seperti penerimaan zakat dan pembagian zakat
ditangani sepenuhnyaoleh PKU, yang sekaligus berwenang sebagai badan amil
(Asyuni Abdurrahman, 1990: 120).
Ciri lain yang
mengindikasikan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan modernis ialah para pengurus
dan anggota Muhammadiyah pada awal-awal perkembangannya yang juga menjadi
anggota dan perintis berdirinya organisasi-organisasi modern lainnya yang saat
itu banyak berkembang. Kyai Haji Ahmad Dahlan sendiri adalah salah seorang
pengurus dan anggota Budi Utomo yang cukup berpengaruh.
Yang menjadi gagasan
pokok muslim modernis di Indonesia saat itu (terutama Muhammadiyah) adalah
keinginan mereka untuk membersihkan keimanan dari segala ketidakmurnian akibat singkretisasi
dalam perjalanan waktu, juga membebaskan keimanan dari kelakuan agama sehingga
menjadi sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan dunia modern. Untuk maksud
tersebut mereka meyakini jawabannya, yaitu dengan kembali pada sumber yang
benar dari Islam, yaitu Al-Qur’an dan Hadits.
C.
MUHAMMADIYAH SEBAGAI BENTUK GERAKAN WARGA ( Civil Movement )
Samuel Huntington menulis buku The Clash of Civilization yang memaparkan problematika demokrasi
pasca-perang dingin. Dalam pandangannya, Huntington mengemukakan bahwa peradaban
Islam tidak menampilkan diri sebagai sosok yang favorable untuk berdemokrasi.
Pada level negara, barangkali tesis Huntington bisa
jadi benar bahwa sebagian besar negara-negara yang mayoritas muslim masih
tercabik-cabik oleh kemiskinan, otoritarianisme, marginalisasi perempuan dan
lemahnya supremasi hukum. Namun pada komunitas-komunitas muslim, tesis
Huntington bisa jadi tidak terbukti. Dan Muhammadiyah bisa membuktikan bahwa
tesis Huntington tidak berlaku pada sebagian komunitas muslim.
Muhammadiyah sejak awal berdirinya memiliki spirit
pembebasan dari belenggu tradisionalisme dan konservativisme, yang
menggugat kemapanan tradisi. Gerakan
Muhammadiyah yang membawa spirit pencerahan di tengah kekolotan tradisi dan
belenggun kolonialisme merupakan salah satu gerakan Islam yang membantah tesis
Huntington tersebut.
Dalam konteks demokratisasi, Muhammadiyah memilki
kultur demokrasi yang dibangun sejak awal berdirinya dengan
mengedepankankepemimpinan kolegial melalui musyawarah dan rapat-rapat.
Dalam konteks gender
sensitive, sejak awal Muhammadiyah menaruh perhatian besar dalam hal
pemberdayaan kaum wanita yang termarginalisasikan oleh kultur dan tradisi.
Dalam konteks pemberdayaan rakyat dan pengentasan
kemiskinan, Muhammadiyah sudah melakukan banyak hal dalam konteks ini sejak
berdirinya. Muhammadiyah memiliki concern
yang besar terhadap pemberdayaan rakyat dan pengentasan kemiskinan yang
dikelola secara sistematis dengan mendirikan Rumah Miskin dan Majelis Pusat
Oemat (PKO).
Dalam konteks keterbukaan, Muhammadiyah sejak
berdirinya memiliki ciri sebagai warga kota yang terbuka. Para pendiri
Muhammadiyah memanfaatkan perkembangan intelektual masyarakat kota. Mereka
berhubungan dengan kaum priyayi maju, dengan para pastor dan pendeta, serta
dengan pemuka Belanda lainnya. Banyak juga diantara anggota Muhammadiyah yang
merangkap menjadi anggota Sarekat Islam dan Budi Utomo. Kyai Dahlan juga
terkenal toleran dengan mereka yang beragama lain dan berpikiran lain. Ia juga
tanpa merasa malu meniru apa yang telah dilakukan oleh missie dan zending.
Dalam konteks membangun inisiatif sipil,
Muhammadiyah mampu menunjukkan komitmennya sejak awal melalui pendidikan.
Gerakan pendidikan yang dilakukan Muhammadiyah adalah wujud komitmen
Muhammadiyah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan memberikan pencerahan
mental kepada bangsa ini yang dimaksudkan untuk membangun kesadaran warga dan
inisiatif masyarakat sipil. Melalui pendidikan, Muhammadiyah berhasil membangun
kesadaran masyarakat untuk mengetahui hak-haknya sebagai warga dan bangsa,
sehingga inisiatif-inisiatif sipil bisa ditumbuhkembangkan dari kesadaran itu.
Dalam kaitannya dengan dengan membangun kesadaran
berbangsa, Muhammadiyah memiliki kontribusi yang sangat besar dalam menciptakan
kesatuan dan persatuan bangsa. Muhammadiyah ikut mengembangkan keberadaan RI
sebagai kesatuan politik.
D.
MUHAMMADIYAH SEBAGAI MANIVESTASI GERAKAN KELAS
MENENGAH INTERPRENEUR
Nabi Muhammad yang menghabiskan masa mudanya sebagai
pedagang, juga istrinya, Khadijah, yang lima belas tahun lebih tua adalah
saudagar yang sukses. Orang-orang dekat Muhammad sendiri pun terdapat sosok
entrepreneur yang memberikan kontribusi nyata bagi perkembangan Islam seperti
Usman bin Affan dan Abdurrachman bin ‘Awf. Lagipula, adalah fakta dalam sejarah
bahwa Islam adalah agama yang dianut oleh kebanyakan pedagang antar-negeri yang
mendominasi pelayaran di Timur jauh (Far
East).
Dilihat dari komposisi anggotanya pada saat awal
berdirinya, Muhammadiyah lebih tampak sebagai gerakan kaum kelas menengah
daripada sebagai organisasi agama yang (lazimnya) didominasi kaum ulama.
Berdasarkan data anggota antara tahun 1916-1923, keanggotaan Muhammadiyah
terbanyak justru berasal dari kaum saudagar/wiraswastawan.
Menyebarnya Muhammadiyah di Indonesia sedikit banyak
terjadi melalui interaksi kaum pedagang. Muhammadiyah juga tersebar melalui
relasi-relasi dagang yang dimiliki oleh Kiai Dahlan yang juga seorang pedagang
batik. Muhammadiyah telah mulai dibina dari tradisi Kauman dan tradisi perantau
yang menampakkan asal-usul dari enclave (kantong)
entrepreneur. Berkembangnya
Muhammadiyah di daerah lain juga berkembang di
enclave entrepreneur. Berkembangnya Muhammadiyah di daerah lain juga
berkembang di enclave entrepreneur, seperti Pekajangan di Pekalongan, Laweyan
di Solo, Surabaya, Kota-gede di Yogyakarta, dan sebagainya. Seperti masuknya
Muhammadiyah ke Minangkabau yang terjadi lewat perkenalan para pedagang
Minangkabau yang terjadi lewat perkenalan para pedagang Minangkabau yang berada
di Pekalongan dengan Kiai Dahlan yang kerap melakukan tabligh di daerah itu.
E.
PROFIL PENDIRI MUHAMMADIYAH
*
Latar belakang
Keluarga KH Ahmad Dahlan
KH Ahmad Dahlan terlahir 1868 dengan nama kecil Muhammad
Darwis. Barulah sepulang menunaikan ibadah haji namanya berganti menjadi Ahmad
Dahlan. Kauman, kampung kelahirannya unik karena nilai historisnya. Sebagaimana
area kauman di kota-kota di Jawa Tengah, kampung Kauman di Yogyakarta juga
terletak di sekitar Masjid Besar Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Tepatnya di
sisi Barat Alun-alun Utara. KH Ahmad Dahlan dilahirkan dari ibu bernama Siti
Aminah dan ayahya KH Abu Bakar. Ayahnya adalah pejabat agama Kraton
Ngayogyakarta Hadiningrat yaitu sebagai Imam dan Khatib Masjid Besar Kraton.
Dari Garis ibu, KH Ahmad Dahlan adalah cucu Penghulu
Kraton yaitu KH Ibrahim. Sementara dari garis ayahnya, KH Ahmad Dahlan masih
memiliki hubungan darah dengan Syekh Maulana Malik Ibrahim (penyebar Islam di
Gresik pada abad ke 15) sebagai turunan ke-11.
KH Ahmad Dahlan
naik haji pertama kali tahun 1890, dalam usia 22 tahun. Tiga belas tahun
kemudian (1903) naik haji kedua kalinya bersama putra laki-lakinya, Siraj
Dahlan yang kadang dipanggil Djumhan. Sepulang ibadah haji tahun 1904-1905,
beliau mendirikan pondok untuk menampung para pelajar dari luar daerah yang
belajar di Yogyakarta.
Setelah berumur 24 tahun, Kiai Dahlan menikahi Siti
Walidah, sepupunya sendiri yang kemudian dikenal dengan Nyai Ahmad Dahlan. Dari
pernikahannya dikaruniai 6 anak, yaitu: Siti Johannah (lahir 1890), Siraj
Dahlan (lahir 1898), Siti Bsyro (lahir 1903), Siti Aisyah (lahir 1905), Irfan
Dahlan dan Siti Aisyah (lahir kembar), dan Siti Zuharoh (lahir 1908).
KH Ahmad Dahlan tidak pernah menjalani pendidikan formal
dengan memasuki sekolah tertentu. Namun ia menguasai beragam ilmu yang
diperoleh secara otodidak baik berguru kepada ulama atau seorang ahli, atau
dengan memebaca buku atau kitab-kitab. Ilmu-ilmu yang dikuasainya atau pernah
dipelajarinya yaitu: Nahwu (tata bahasa Arab), Ilmu Fiqih, Ilmu Falaq, Ilmu
Hadits, Qiroatul Qur’an, Ilmu Pengobatan dan Racun, serta Tasawuf.
Guru-guru Kiai Ahmad Dahlan sebagaian dari dalam negeri
dan lainnya dari luar negeri khususnya Saudi Arabia. Guru-gurunya antara lain:
ayahnya sendiri (KH Abu Bakar), KH Mohammad Shaleh (Kakak iparnya), untuk ilmu
Fiqih, KH Muchsin dan KH Abdul Hamid untuk ilmu Nahwu, KH Raden Dahlan
(Pesantren Termas), untuk ilmu falaq, Kiai Machfud (Pesantren Termas) untuk ilmu
Fiqih dan Hadits, Syekh Khayyat untuk ilmu Hadits, Syekh Amin dan Sayyid Bakri
Satock untuk Qiroatul Qur’an, Syekh Hasan untuk ilmu Pengobatan da Racun,
Sayyid Ba-bussijjil untuk ilmu Hadits, Mufti Syafi’i untuk ilmu Hadits, Kiai
Asy’ari Baceyan dan Sykeh Misri Makkah untuk Qiroatul Qur’an dan ilmu Falaq.
*
Jalan Hidup Kiai Ahmad Dahlan
Sebelum
Muhammadiyah berdiri, Kiai Ahmad Dahlan telah melakukan berbagai kegiatan
keagamaan dan dakwah. Tahun 1906, Kiai diangkat sebagai khatib Masjid Besar
Yogyakarta dengan gelar Ketib Amin. Satu tahun kemudian (1907) Kiai memelopori
Musyawarah Alim Ulama. Dalam rapat pertama beliau menyampaikan arah kiblat
Masjid Besar kurang tepat.
Tahun 1922 Kiai
membentuk Badan Musyawarah Ulama. Tujuan badan itu ialah mempersatukan ulama di
seluruh Hindia Belanda dan merumuskan berbagai kaidah hukum Islam sebagai
pedoman pengamalan Islam khususnya bagi warga Muhammadiyah. Badan Musyawarah
ini diketuai RH Moehammad Kamaludiningrat, penghulu Kraton. Meskipun pernah
berbeda pendapat, Moehammad Kamaludiningrat ini yang mendorong para pimpinan
Muhammadiyah kemudian membentuk Majelis Tarjih (1927). Majelis ini diketuai
Kiai Mas Mansur. Dengan tujuan dakwah agar manusia berfikir dan tertarik pada
kebagusan Islam melalui pembuktian jalan kepandaian dan ilmu.
Tahun 1909,
Kiai Ahmad Dahlan bergabung dengan Boedi Oetomo. Tujuannya selain sebagai wadah
semangat kebangsaan, juga untuk memperlancar aktivitas dakwah dan pendidikan
Islam yang dilakukannya. Ketika Muhammadiyah terbentuk, bahkan 7 orang
pengurusnya menyusul bergabung dengan Boedi Oetomo. Hubungan Muhammadiyah
dengan Boedi Oetomo sangat erat, sehingga Kongres Boedi Oetomo tahun 1917
diselenggarakan di rumah Kiai Ahmad Dahlan.
Di sisi lain
Dr.Soetomo—pendiri Boedi Oetomo—juga banyak terlibat dalam kegiatan-kegiatan
Muhammadiyah dan menjadi Penasehat (Adviseur Besar) Muhammadiyah. Dalam Kongres
Muhammadiyah ke-26 (Surabaya), Dr.Soetomo memberikan ceramah (khutbah) dengan
tema Penolong Kesengsaraan Oemoem (PKO). Khutbah ini yang mendorong lahirnya
PKO dengan rumah sakit dan panti asuhannya kemudian. Dr.Soetomo pun membantu
memperlancar pengesahan berdirinya Muhammadiyah, tiga tahun setelah berdirinya.
Keanggotaannya
di Boedi Oetomo memberikan kesempatan luas berdakwah kepada para anggota Muhammadiyah
dengan mengajar agama Islam kepada siswa-siswa yang belajar di sekolah Belanda.
Antara lain Kweeck School di Jetis. OSVIA (Opleiding School Voor Indlandsch
Amtenaren), Sekolah Pamong Praja (Magelang). Selain dakwah yang diadakan di
rumahnya di Kauman.
Tahun
1908-1909, Kiai Dahlan mendirikan sekolah yang pertama yaitu Madrasah
Ibtidaiyah dan Madrasah Diniyah (setingkat SD). Kegiatan belajar mengajarnya
diadakan di ruang tamu rumahnya yang berukuran 2,5 x 6 meter. Meskipun demikian
sudah dikelola secara modern dengan menggunakan metode dan kurikulum. Dengan
menggunakan papan tulis, meja, dan kursi. Sistem pengajarannya secara klasikal.
Waktu merupakan sesuatu yang sangat asing bagi sekolah pribumi. Untuk pertama
kali muridnya hanya 6 orang. Dan setengah tahun kemudian meningkat menjadi 20
orang.
Ketika besluit
pengakuan sah Muhammadiyah keluar dari pemerintah Belanda tahun 1914, Kiai
Ahmad Dahlan pun mendirikan perkumpulan kaum ibu yaitu Sapatresna. Yang tahun
1920, kemudian diubah namanya jadi Aisiyah. Tugas pokoknya mengadakan pengajian
khusus bagi kaum wanita. Dengan ciri khusus peserta pengajian Sapatresna
diwajibkan memakai kerudung dari kain sorban berwarna putih. Perkumpulan ini
pertama kali dipimpin Nyai Ahmad Dahlan.
Tahun 1920
didirikan Panti Asuhan Yatim Piatu Muhammadiyah. Dan tahun 1922 didirikan
Nasyiatul Asiyiyah (NA), yang semula bagian dari Aisiyyah kalangan muda.
Sedangkan tahun 1918 didirikan kepanduan Hizwul Wathan (HW) bagi kalangan
angkatan muda. Diketuai Haji Muhtar. Diantara alumni HW (yang juga berkembang
di Banyumas) adalah Jenderal Sudirman. Tahun 1917 Kiai Ahmad Dahlan mendirikan
pengajian Malam Jum’at sebagai forum dialog dan tukar pikiran warga
Muhammadiyah dan masyarakat simpatisan. Dari forum ini kemudian lahir Korps
Mubaligh keliling, yang bertugas menyantuni dan memperbaiki kehidupan yatim
piatu, fakir miskin, dan yang sedang dilanda musibah.
Tahun 1918
didirikan sekolah Al Qism Al Arqa, yang dua tahun kemudian menjadi Pondok
Muhammadiyah di Kauman. Tahun 1921 berdiri badan yang membantu kemudahan
pelaksanaan ibadah haji bagi orang Indonesia, yakni Penolong Haji. Selain itu
mendirikan pula mushala kaum wanita, sebagai yang pertama di Indonesia.
Untuk mendukung
aktivitasnya, Kiai Dahlan menyerahkan harta benda dan kekayaannya sebagai modal
bagi perjuangan dan gerak langkah Muhammadiyah. Kiai seringkali melelang
perabot rumah tangganya untuk mencukupi keperluan dana bagi gerakan
Muhammadiyah.
Tahun 1922
Muhammadiyah sudah memiliki 9 sekolah dengan 73 orang guru dan 1019 siswa.
Yaitu Opleiding School di Magelang, Kweeck School (Magelang), Kweeck School
(Purworejo), Normal School (Blitar), NBS (Bandung), Algemeene Midelbare School
(Surabaya), Hoogers Kweeck School (Purworejo).
Pada tahun 1921
Muhammadiyah sudah memiliki 5 cabang yaitu: Srandakan (Yogyakarta), Imogiri
(Yogyakarta), Blora (Jawa Tengah), Surakarta (Jawa Tengah), Kepanjen, Malang
(Jawa Timur). Tahun 1922 menyusul berdiri cabang Muhammadiyah di: Solo,
Purwokerta, Pekalongan, Pekajangan, Jakarta, Garut (Jawa Barat), dan Sungai
Liat (Bangka).
Selain itu
Muhammadiyah sudah menerbitkan majalah yaitu Suara Muhammadiyah (SM) sejak
tahun 1914. dan Kiai Ahmad Dahlan duduk sebagai Staf Redaksi. Kemudian
Muhammadiyah pun mendirikan Perpustakaan pada tahun 1922, untuk para anggota
dan Umat Islam pada umumnya.
Hubungan
pergaulan Kiai Ahmad Dahlan sangat luas. Selain di Muhammadiyah dan Boedi
Oetomo, Kiai Dahlan merupakan komisariat Central Sarekat Islam (SI) dan
Adviseur (Penasehat Pusat) SI. Sekaligus ahli propaganda dari aspek dakwah bagi
SI. Bahkan kiai ini termasuk rombongan yang mewakili pengurusan pengeshan Badan
Hukum Sarekat Islam, bersama Cokroaminoto. Aktivitasnya di SI sejak tahun 1913.
Selain di SI, Muhammadiyah, dan Boedi Oetomo, jauh sebelum mendirikan Muhammadiyah
Kiai Ahmad Dahlan pun menjadi anggota perkumpulan Jami’atul Khair (1905) dari
kalangan pribumi, bersama Husein Jayadiningtrat. Luasnya hubungan Kiai Ahmad
Dahlan bisa dilihat dari donatur Muhammadiyah yang terdiri dari bermacam
kalangan. Antara lain para pemimpin SI, organisasi Islam di pulau Jawa dan luar
Jawa. Juga para politisi dan Birokrat seperti Pegawai Jawata Kereta Api dan
Irigasi.
Itulah amal
perjuangan KH Ahmad Dahlan. Yang banyak melakukan rintisan amal sosial.
Sehingga dakwah Islam yang digerakan Muhammadiyah bukan berputar-putar sekedar
pada wacana, tapi aksi sosial. Tapi setiap wacana harus dijalankan dalam
konteks sosial. Melihat perilaku gerakan KH Ahmad Dahlan tampak jelas KH Ahmad
Dahlan merupakan sosok manusia amal (man of action). Namun demikian
bukan berarti beliau tidak mampu berpropaganda atau menulis, tapi Kiai Ahmad
Dahlan membuktikan dirinya sebagai manusia yang memiliki integritas sebagai
muslim. Yaitu adanya kesatuan antara pemikiran, ucapan, dan perbuatan. Meskipun
bagi generasi selanjutnya lebih tampak Kiai ini dari sisi aksi sosialnya. Atau
kesulitan menangkap pemikiran atau ide-idenya, baik terucapkan atau tertulis.
Karena memang Kiai yang satu ini tidak banyak menulis, meskipun bisa menulis.
Ide-ide dan pemikirannya itu terwujudkan dalam hasil karya gerakan sosial. Maka
untuk menangkap sejauh mana pemikiran atau ide kiai Dahlan kita harus berusaha
menangkap esensi dari amal sosial keagamaan Muhammadiyah seperti disebutkan di
atas. Yang kemudian dikembangkan murid-murid dan pengikutnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar